Kamis, 18 Februari 2010
Selasa, 29 September 2009
Penulis: dedy
Apakah yang ada di benak kita saat menyebut kata "puisi"? Apakah syair-syair cinta seperti yang ada di Kidung Agung? Ataukah untaian kalimat indah, sebagaimana di kartu-kartu ucapan, yang memakai gaya bertutur ala Shakespeare, Gibran, atau bahkan Rangga? Ataukah bait- bait kalimat yang diucapkan dengan suara lantang seperti orang berorasi? Mungkin kita malah menganggap setiap kalimat yang tidak umum dan disusun secara berirama sebagai puisi? Gambaran tiap orang tentang sebuah puisi memang bisa berbeda-beda. Semua tergantung pengalaman pribadinya dengan apa yang disebut puisi itu. Meski begitu, tentunya puisi bukanlah suatu bentuk tulisan yang asing bagi kita.
Secara pribadi, saya menyetujui hakikat puisi sebagai suatu bentuk tulisan yang bersifat sangat pribadi/personal. Sebuah puisi biasanya dan mungkin juga hanya akan berisi cerminan pemahaman sang penulis puisi (penyair) akan sesuatu hal di dunianya. Ini tentu jauh lebih pribadi dari artikel yang bisa lebih banyak mengutip pendapat orang lain daripada pendapatnya sendiri; juga lebih personal dari karya seorang novelis yang tidak selalu mewakili dirinya sendiri. Sedemikian privasi dan subyektifnya sebuah puisi sehingga memiliki makna tersendiri. Hal ini menjadi salah satu alasan yang menyebabkan sebagian orang menganjurkan agar puisi tidak diterjemahkan.
Puisi, untuk satu dan lain hal, bentuknya juga cenderung mudah dikenali, baik ketika masih berbentuk aksara maupun setelah dibacakan. Kata-kata yang tidak biasa, penggunaan metafor, hingga ketidaklengkapan kalimatnya memberi ciri tersendiri bagi puisi. Ribut Wijoto malah berpendapat bahwa salah satu ciri mendasar dari puisi menyerupai gaya bertutur pengidap skizofrenia.
Apakah itu alasan yang menimbulkan pendapat bahwa menulis puisi adalah sulit? Bisa ya bisa tidak. Apakah itu yang membuat orang suka menulis puisi? Bisa ya bisa tidak.
Namun, penggunaan berbagai metafor atau kata-kata yang tidak biasa dalam puisi sendiri pada dasarnya adalah bagian dari proses berkomunikasi dan berbahasa. Sama seperti jika ada orang Indonesia yang lebih suka mengungkapkan beberapa hal (rasa sakit, rasa terkejut, rasa senang, dsb) dalam bahasa Inggris karena ia merasa kata itu lebih tepat dan efektif dalam menggambarkan apa yang ada di pikirannya. Karenanya, seorang penyair tentu saja orang yang pandai mengolah bahasa. Inilah sifat puisi yang lain, yakni efektif dalam memakai kata-kata untuk menyampaikan pendapat dan pikiran. Oleh karenanya, tak heran jika kita mengenal genre puisi yang berasal dari Jepang bernama haiku, yang hanya terdiri dari 14 suku kata. Bahkan dalam dunia puisi modern, kita juga bisa menjumpai sebuah puisi yang hanya berisi satu atau dua kata saja.
Dalam konteks sejarah, puisi juga termasuk salah satu bentuk tulisan yang usianya sangat tua. Mungkin bisa disebut sebagai nenek moyang dalam dunia penulisan. Keberadaan syar-syair tua seperti Kidung Agung, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, serta syair-syair mitologi Yunani sebagaimana terdapat dalam Iliad dan Odyssey karya Homerus adalah buktinya. Demikian juga dengan kitab-kitab kebijaksanaan Tao dan Konfusius, atau tradisi sastra lokal seperti pantun, gurindam, seloka, dsb., semuanya disajikan dalam syair-syair yang indah.
Seiring perkembangan sejarah peradaban manusia, puisi (sastra) juga terus-menerus mengambil semakin banyak peran dan pengaruh dalam kemajuan kehidupan manusia. Kemajuan peradaban Tiongkok (yang juga mempengaruhi Vietnam, Jepang, dll.) tentu tak bisa dilepaskan dari budaya mereka yang sangat menjunjung tinggi sajak- sajak dan para penyair. Sementara dalam dunia sosial dan politik telah berkali-kali pula dicatat peran para penyair misalnya, Pablo Neruda, Wiji Thukul, Nikolai Vaptsarov, Fransisco Borja da Costa, juga Chairil Anwar yang lewat puisi mereka memimpin bangsanya ke arah perubahan. Pemimpin politik seperti Ho Chi Minh dan Mao Zedong pun merasa bahwa puisi adalah sarana yang cocok untuk mengekspresikan pikirannya. Karena puisi pulalah hati dan gairah dapat menyala dan berkobar, dan puisi pulalah yang sanggup memerahkan telinga wapres kita sampai akhirnya marah-marah di acara HUT PGRI ke-60 di Solo beberapa waktu lalu.
Sejarah puisi terlihat indah dan penuh kemenangan. Namun, bagaimana dengan kenyataan yang ada sekarang? Puisi sukar dipahami. Bahasanya terlalu 'ndakik-ndakik', kata kritikus. Seperti telah disinggung di atas, bisa jadi itulah yang membuat orang malas menulis atau membaca puisi. Di dunia di mana budaya konsumerisme semakin menjadi pilihan untuk menjalani hidup, keinginan untuk mendapatkan segala sesuatu secara instan adalah yang utama. Posisi puisi dengan bahasa yang sepertinya sengaja 'dipersulit' untuk bisa dimengerti dan hanya berkutat pada masalah pribadi si penyair (apalagi yang belum terkenal) tentu akan semakin tersingkirkan atau menjadi terlalu eksklusif. Slogan seni untuk seni (l'art pour l'art) yang mungkin masih diyakini oleh beberapa penyair sampai saat ini hanya menempatkan puisi sebagai menara gading. Puisi hanya semata masalah keindahan. Bagi perkembangan masyarakat, ia tidak membawa dampak apa-apa. Akibatnya masyarakat sendiri menjadi apatis dengan puisi. Puisi hanya menjadi milik mereka yang 'paham'. Penulisan puisi kemudian terbatas di kartu-kartu ucapan yang hanya dibaca sekali lalu lebih sering dibuang. Apresiasi masyarakat atas puisi atau sastra atau seni menjadi seperti apresiasi penduduk Yunani akan Allah yang Tak Dikenal (Kis. 17:23); tahu bahwa Ia ada, namun terasa jauh, sukar dipahami, dan seringkali mengakibatkan 'pengetahuan' itu menjadi milik segelintir orang saja (seniman, kritikus, kurator, dsb.).
Paradigma dan keadaan seperti itu tentulah bukan sesuatu yang harus dipertahankan. Dalam lingkungannya sendiri, seni dan sastra realis, baik realisme sosialis, realisme magis, dan sejenisnya, yang menolak bentuk eksklusif dan tidak menyuarakan apa-apa selain nilai estetika, sempat dan masih sering dipakai untuk mengatasi masalah itu. Sementara dalam segi kemasan, sastra, khususnya puisi mulai mengalami metamorfosanya sendiri. Film seperti "Ada Apa dengan Cinta", milis-milis, juga komunitas-komunitas penggemar jenis tulisan puisi (anggotanya bahkan umumnya anak muda, yang beberapa di antaranya malah sudah menerbitkan buku antologi puisi karya mereka sendiri), menjadi media yang subur bagi pengembangan puisi. Gaya bahasa puisi kontemporer yang semakin sederhana, pembawaan puisi dengan gaya teatrikal, meledak-ledak seperti orasi, dsb. menjadi beberapa cara yang telah ditempuh guna mengubah puisi agar lebih komunikatif dan menjadi milik semua orang.
Anggapan bahwa pembaca puisi hanyalah kalangan yang terbatas saat ini juga mulai menyurut. Setidaknya lihatlah betapa banyak buku Kahlil Gibran yang beredar di toko buku saat ini. Dalam literatur Kristen, tengok pula berapa banyak orang terinspirasi oleh puisi berjudul "Footprints". Begitu juga fakta bahwa banyak orang telah mendapat inspirasi dan hidupnya berubah setelah membaca ayat dalam Kitab Suci yang ditulis dengan gaya bersyair. Namun, sekali lagi harus diakui bahwa mengubah paradigma masyarakat yang menganggap berpuisi dan membaca puisi sebagai kegiatan tak berguna merupakan perjuangan tersendiri.
Dunia penulisan Kristen tampaknya juga mengalami masalah yang kurang lebih serupa. Tanpa mengurangi penghargaan kepada penulis Kristen yang mungkin selama ini telah mendedikasikan dirinya dalam dunia puisi, kita tentu tak dapat membohongi diri bahwa saat ini tak banyak orang Kristen yang mau menulis puisi untuk menyuarakan pendapatnya dan pendapat-Nya untuk dunia ini. Mengingat kekhasannya, semestinya mereka juga dapat memanfaatkan puisi sebagai sarana penyampaian pendapat sebagaimana tulisan khotbah, kesaksian dan renungan. Lagi pula, sebagai bagian dari seni dan budaya, puisi juga dengan sendirinya dapat lebih mudah diserap oleh kalangan luas, sehingga menyebabkan para pemimpin negara atau juga para penjajah dulu begitu memperhatikan gerakan para penyair dan seniman. Mereka menyadari bahwa puisi juga menjadi salah satu sarana penyebaran ideologi yang efektif.
Lalu pertanyaannya sekarang adalah mungkinkah kita bisa benar-benar serius memakai puisi sebagai media penyataan terang-Nya? Semua memang kembali kepada diri kita sendiri. Saya sendiri yakin bahwa militansi para penulis Kristen tentu tak kalah dengan seorang buruh pelitur mebel asal Solo bernama Wiji Thukul yang rela menanggung risiko dilenyapkan oleh militer sampai sekarang. Bahkan kerelaan hati kita tentu juga bisa lebih dari yang dimiliki penyair sekuler macam W.S. Rendra yang pada masa-masa awal karirnya rela hanya makan nasi dan garam demi tekad untuk hidup dari seni (puisi) dan tidak lagi memandang seni sebagai kegiatan pengisi waktu saja.
Ketika Roland Barthes memproklamirkan "Kematian Pengarang", mengingat pada masa ini pembacalah yang lebih dominan menilai dan memahami satu karya daripada sang pengarang, penulis Kristen tak perlu jera dan gentar menghadapinya. Sejarah membuktikan, kenyataan di sekitar menunjukkan, dan Roh Kudus yang akan memampukan, bahwa puisi bukanlah sebuah kesia-siaan. Puisi dapat menjadi alat komunikasi yang efektif dalam menyatakan kebenaran-Nya. Bahkan jika ditulis dan dikemas dengan baik ia akan sanggup melewati sekat-sekat yang selama ini membatasi tulisan-tulisan Kristen untuk diterima masyarakat luas. Ah, puisi ternyata memang tidak melulu masalah puitis atau tidak.
Beberapa Sumber Bacaan:
1. JJ Kusni, Esai Ketika Dicemoohkan, Puisi Terus Ditulis
http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id=1030351856
2. Percy Bysshe Shelley, A Defence of Poetry (dalam bentuk ebook
dari Project Gutenberg)
3. Ribut Wijoto, Artikel Skizofrenia pada Gejala Estetik Puisi
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/014/bud3.html
Sabtu, 01 Agustus 2009
Senin, 13 Juli 2009
kaulah yang membuatku bahagia
dalam hidupku
semua terasa sepi dan hampa tanpamu
namun kini ku tlah sadar
kau tak lagi di sisiku
bulan...
kau telah pergi dari kehidupanku
ku bersedih dan menangis atas kepergianmu
sebab dengan siapa lagi aku menangis dan tertawa
karna dirimulah yg membuatku bahagia
bulan...
dirimu adalah pelita cintaku
yg hadir dalam kehidupan duniaku
tak henti aku menyebutmu bu..lan
serasa cintaku hanya milikmu
ku inginkan kehadiranmu di sisiku
kerinduan bicaramu
yg slalu membuatku tertawa
namun kini ku tlah sadar
kau tak lagi ada di sisiku
kau tlah pergi dari kehidupanku
meninggalkan diriku begitu saja
tuhan tolong sadarkan aku
bahwa dia kini bukan lagi miliku
karena dia telah menyakiti hatiku
dan membuatku kecewa
hujan pun turun deras dngn hembusan angin
kau bergelanyut di sisi sungai
menghabiskan nafas kehidupanmu
tiada hingar dan bingar
tiada lagi gelak tawamu
hanya suara ayat suci yang terdengar
yang berselimutkan kain putih
sungguh...
ingin ku menangis
ingin ku teriak
namun semuanya takan berarti lagi
karna semuanya telah menjadi takdir ilahi
gembira sedih di hati ini
ingin rasanya ku berlari
mencari teman hidup ini
hati merasa slalu sendiri
mendirikan seorang teman sejati
tuk menemani kemana ku pergi
tuk mengisi kehampaan ini
bagiku hidup ini terasa sepi
tiada yg menemani
kemana perginya teman sejati
ku kan slalu mencari-cari
ku temui wajah mu yg lama tak terlihat
ku rasa ini sebagian dari mimpiku
kau tlah berubah tak seperti dulu
kana dirimulah yg memberi hariku indah
dirimu yang bisa membuatku berubah
namun kini kau tlah melupakanku
yg dulu pernah singgah di hatimu
rasa ragu kita yg menjadi di lema
dan kita pun belum sempat mengatakan cinta
namun ku masih teringat semuanya
saat-saat terikat oleh rasa cinta dan kasih sayang
hanya bayanganmu yang ada di hatiku
ketika sang bulan menyapa sang malam
hanya bayanganmu yg slalu di hatiku
apakah ku mampu menahan hasratku
memendam perasaan di hatiku ini
ingin ku ungkapkan perasaanku
dan memilikimu seumur hidupku
kini ku temukan sebuah jawaban
yg lama tersimpan dalam hatiku
sungguh ku sangat mencintaimu
menyayangimu slama hidupku
kau membuatku hatiku terluka
dalam perasaan hati yg terdalam
kau membuat ku tak bernyawa
setelah cinta itu ada dan tercipta
tertutup sudah luka yg lama
ketika cinta masih berjalan
harapkan luka lagi menyerta
kian deras air mata
mengiringi kepergian cinta
begitu cinta terlalu menderita
menahan luka yg kian merata
Sabtu, 27 Juni 2009
Rabu, 24 Juni 2009
yang hadir dalam kehidupan duniaku
seiring keikhlasan menghiasi tangan lembutmu
tanpa dirimu semua tak berarti
namun...kini kau telah pergi
secercah kasih sayang yg ku beri
untuk kau kenang slamanya
kasih...
tiada kasih seperti kasihmu
kan ku jaga kasih seharum nafasmu
z
Ibu...
Dirimu adalah pelita cintaku
yang hadir dlm kehidupan duniku
tak henti aku menyebutmu ibu
serasa...sukmaku
dalam surga telapak kakimu
engkaulah harapanku
tanpa ridhomu semua tak berarti
tanpa senyumu semua terasa sepi
karna dirimu ibu
ibu...
namamu,seagung kerela'an hati
secercah kasih dan sayang yg ku beri
seiring keikhlasan menghiasi tangan
indah lembutmu
ibu...
tiada kasih seperti kasihmu
kan ku jaga kasih seharum nafasmu
hingga ujung usiaku
aku bersandar di dinding kamar
ku mengingat dirimu tanpa orang
yang menemaniku di sini
setetes air mata pun membasahi pipiku
bagaikan air mengalir
kumerasakan sepi dan sepi
sendiri dalam kesunyian
bagai dalam gurun yang gersang
ku tak ingin blarut dalam kesedihan
ku coba menata kembali
semenjak kecil aku slalu di temani ibu
ntah mengapa ibu tlah tiada
ku bersedih kumenangis bila ku ingat padamu
di sa'at ku termenung sendiri
tiada satu pun menemaniku di sini
hanya suara ucapan dan geramu yang
ada di hatiku
ibu.. oh ibu mengapa kau tinggalkanku
di sa'at aku membutuhkanmu
ku mengerti ku memahami apapun yg kau berikan
padaku adalah yg terbaik untuk hidupku
oh...ibu aku merindukanmu
aku slalu ingat dan mengenangmu
hanyalah namamu yg ku ukir slama hidupku
karna ruang hidupku hanyalah milikmu
Jumat, 19 Juni 2009
aku merasa kaulah yang ku kagumi
lewat jabatan tanganmu aku mengenal
namamu dan asamu
tiada hari yg terkesan tanpamu
hari-hari terasa indah
jika ku dekat denganmu
perjumpa'an slalu di akhiri dngn perpisahan
sekarang kita harus berpisah
selamat tinggal temanku
semoga kita dapat bertemu kembali
aku slalu memandangmu di sa'at kurindu padamu
dan aku melihat cahayamu yg menerangi hatiku
di setiap malam aku slalu bahagia bila ku ingat padamu
aku merasakan sepi dan hampa tanpamu
bintang engkaulah sang penghibur jiwaku
dan aku tak rela kau pergi tanpaku
bintang engkaulah yang membahagiakan hatiku
aku pun tak rela kau pergi tanpa diriku
namun keabadian cinta akan tetap terus abadi
cinta itu akan tetap abadi
tak akan mudah terkikis oleh waktu
andai kutau apa itu cinta sejati
mungkin kau tak akan pergi
dan cinta kita mungkin kan tetap abadi
namun cinta itu tlah mati
ku tuliskan namamu di pasir putih
namun ombak datang menghapusnya
lalu ku tuliskan dalam hati
untuk bisa ku kenang slamanya
cinta ini kan tetap abadi
walaupun kau telah pergi
cinta ini tak akan mati
walau maut kan menghampiri
tentang awan dan bumi
yang menanti arti cinta
kataku dlm hati aku ingin
mencintaimu...
tapi ini cuma khayalan bagiku
yang ku alami
karna kau pun tak mencintaiku
suaramu tercekat ntah dan pasti
dan ku tau risallah tak tentu benarnya
maka dengarlah alegori dukaku
aku ingin kau berbagi sepi denganku
jangan pergi sebab dengan siapa lagi aku
menagis dan tertawa
karna dirimulah yang membuat ku bahagia
memberi racun dalam hati
menyebarkna virus benci
kepada siapapun yang dia sukai
bersandiwara sesuka hati
berikan petunjuk berkali-kali
sesatkan umat berkali-kali
karena itu musuh sejati
itulah dia makhluk sejati
ku melihat bayanganmu
yang akan membawa aku
ke dalam dunia mimpi yang nyata
Andai kau dengar hatiku berkata
bahwa aku sangat merindukamu
dengan senandung puisi ku curahkan
padamu
oh...tuhan sampaikanlah
sebaris seucap kata rinduku padanya
agar dia pun tau
bahwa segenap jiwa dan raga
hatiku merindukanya
I..miss you